Pemikiran Eksistensialisme Yang Dikembangkan Oleh Sartre

Sebenarnya pemikiran tentang eksistensialisme itu jauh sebelum Sartre mengemukakannya telah ada seorang filsuf Denmark yaitu Søren Kierkegaard. Tetapi munculnya nama Sartre sebagai tokoh yang sangat berpengaruh sekali dalam perkembangan dan persebaran salah satu gerakan filsafat eksistensialisme iniSebelum kita beranjak membahas mengenai pemikiran eksistensialisme yang dikemukakan oleh Sartre, ada baiknya jikalau kita artikan terlebih dahulu mengenai pengertian eksistensialisme. Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi yang atinya ialah adanya ataupun menyangkut keberadaan, jadi jikalau ditambah dengan akhiran -isme maka arinya ialah stau paham atau alairan filsafat yang menganut paham eksistensi  manusia.

Terdapat suatu prinsip didalam aliran eksistensialisme ini yaitu prinsip yang dinyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, maksud pernyataan ini ialah keberadaan manusia terlebih dahulu daripada hakikat atau inti dari keberadaan manusia itu sendiri. Jika dicontohkan seperti, pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa. Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, menurut Sartre tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia. Pandangan seperti ini banyak sekali mendapatkan kritik dari berbagai pihak, menurut mereka aliran eksistensialis ini bersifat pesimistis, menurut orang yang mengkritik Sartre menyatakan jika bentuk terakhir kehidupan manusia yang akan dicapai tidak diketahui olehnya, maka dia tidak dapat berusaha keras untuk mewujudkannya. Dalam hal ini berarti Sartre menganggap bahwa kehidupan manusia itu bersifat ketidak jelasan dan untuk memperjelas yang tidak jelas itu manusia harus berusaha untuk kehidupannya lebih baik. Jadi menurut Sartre dengan ketidaktahuan manusia mengenai bentuk akhir kehidupannya maka dia akan berusaha keras untuk mewujudkan apa yang akan diinginkannya dalam akhir kehidupannya, sedangkan untuk para pengkritiknya ialah dengan ketidak tahuan mengenai bentuk akhir kehidupannya maka manusia tidak akan dapat berusaha keras untuk mewujudkannya atau merealisasikannya.

Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Banyak sekali dari para pengkritiknya yang m,enyatakan bahwa pemikiran eksistensialisme yang dikembangkan oleh Sartre ini tidak jauh atau tidak lain dari pemikiran subjektif semata.Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada benda, misalkan batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis (ada), bahwa manusia adalah manusia, sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia. Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Dengan adanya penrnyataan ini banyak dari para pengkritiknya yang menanyakan bagaimana bisa terjadi suatu individu bertanggung jawab atas semua umat manusia.

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua pengerrtian atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya. Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

Pemikiran Humanisme Yang Dikembangkan Oleh Sartre

Pada pembahasaan diatas sudah dinyatakan bahwa menurut Sartre menganggap martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala apa yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pandangan Humanisme yang kalau kita perhatikan kembali dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan menentukan dirinya sendiri.Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada keradikalannya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati. Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan (Allah) itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Tuhan harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, “Jika Tuhan (Allah) tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang khusus dan tertentu. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas.

Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang  mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Tuhan) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku.Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan yang melampaui dirinya sendiri (transenden). Dan hubungan antara sesuatu yang melampaui dirinya (transenden), manusia dengan subjektifitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan eksistensial-humanisme. Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah penentu bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sekalian melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis –tidak seperti yang pengkritiknya sampaikan bahwa eksistensialime Sartre ini pesimistis-, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

Penututup

Segala hal yang terjadi disekitar kehidupan manusia tidaklah akan pernah terlepaqs dari segala bentuk tindakan yang terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Begitupun dengan pentingnya arti eksistensi manusia didalam dunia ini, karena itu membuat esensi dari manusia itu sendiri. Dalam Islam itu sendiri terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menyatakan pada intinya menyatakan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali  kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya sendiri. Sepertinya Sartre tidaklah pernah memikirkan adanya agama yang hamper sesuai dengan pemikirannya itu. Namun, terdapat beberapa pernyataan yang dinyatakan olehnya bahwa “jika Allah (tuhan) tidak eksis, maka segala sesuatu akan diijinkan” itu amat sangat sekali bertentangan dengan Maha Sempurna dan Ketidak Terbatasan Tuhan. Jadi dengan adanya pernyataan yang dilontarkan olehnya itu mencerminkan bahwa ketidak sempurnaan tuhan yang ada dalam keyakinan sang filosof ini. Betapa tidak, jika Tuhan yang disembah dan sebelumnya diyakini dan diimani oleh Sartre itu sendiri memang tidak terbatas dan agung, maka sebenarnya segala bentuk eksistensi yang ada dalam makrokosmos terlebih lagi mikrokosmos itu tidaklah akan pernah terlepas dari kekuasaan-Nya dan yang pasti yang ada dalam kehidupan alam semesta ini tidaklah akan terlepas dari kekuasaan Tuhan. Jadi pada inti dan hakekatnya manusia itu bebas untuk melakukan segala macam hal yang ingin dilakukannya, pembatasan itu sebenarnya dibuat oleh manusia itu sendiri. (AF)

© copyright reserved by

2005, Ashril Fathoni

[1] Tulisan ini pada awalnya adalah merupakan salah satu tugas wajib yang diberikan pada mata kuliah sejarah eropa, yang mana terdapat banyak sekali perubahan dan proses peng-edit-an dalam tulisan ini. Judul asli dalam tulisan ini adalah jean-paul sartre dalam pekembangan intelektual eropa pada abad xx.

[2] Penulis adalah mahasiswa jurusan pendidikan sejarah angkatan 2004 kelas F, penulis merupakan pengururs Himpunan Mahasiswa Jurursan Pendidikan Sejarah (HIMAS) Bidang 1 Organisasi, Biro Sosial Politik dan anggota Himpunan MAhasiswa Islam (HMI) Komisariat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) Koordinator Komisariat (Korkom) Universitas Pendidikan Indonesia UPI.

IKASEJARAHUPI
Site Owners Pandu Rinata 2009
Situs Ikatan Alumni Sejarah UPI Bandung